Random Post

Mengenal Sosok Wali Songo; Sunan Kalijaga

KATA-KATA BIJAK SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RA.
1. Perbuatan buruk yang menjadikanmu bersedih karenanya lebih baik di sisi Allah dari pada perbutan baik yang membuatmu bangga Siapa yang memandang dirinya buruk maka dia adalah orang yang baik. Dan siapa yang memandang dirinya baik, dia adalah orang yang buruk. 2. Barangsiapa yang telah kehilangan keutamaan kejujuran dalam pembicaraannya, maka dia telah kehilangan akhlaknya yang termulia. 3. Janganlah engkau merendahkan seseorang karena kejelekan rupanya dan pakaiannya yang usang, karena sesungguhnya Allah ta’ala hanya memandang apa yang ada dalam hati dan membalas segala perbuatan. 4. Tiga hal yang menyelamatkan, yaitu; takut kepada Allah, baik secara diam-diam maupun terang-terangan; hidup sederhana, baik di waktu miskin maupun kaya; dan berlaku adil, baik diwaktu marah maupun ridha.

Mengenal Sosok Wali Songo; Sunan Kalijaga

Ketika wilayah (perwalian) Demak didirikan pada tahun 1478M, seorang ulama yang bernama ‘Joko Said‘, diserahi tugas sebagai Qadli (Hakim). Qadli Joko, dikemudian hari, lebih dikenal dengan panggilan Kalijogo (Sunan Kalijaga). Perubahan pelafalan nama dari Qadli Joko menjadi Kalijogo, bukan hal yang aneh dalam budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias Joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Istilah ‘Qadli’ merupakan nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sudah jelas, bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang Qadli, dan bukan praktisi Kejawenisme. Dakwah Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga, memilih sarana Kesenian dan Kebudayaan, dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia. Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa apabila Islam sudah dipahami, maka kebiasaan-kebiasaan lama, akan hilang dengan sendirinya (Sumber : forum.upi.edu). Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi. Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya (Kunjungi : Sunan Kudus, dakwah damai Para Wali dan Rasionalisasi, Kisah Syaikh Siti Jenar). Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen. Sumber : http://kanzunqalam.wordpress.com/2011/02/01/sunan-kalijaga-ulama-seniman/

Bagai Semut Di Atas Batu Hitam Digelap Malam

Maka beruntunglah orang-orang yang senantiasa selalu tumbuh rasa cinta kepada Rasulallah SAW, yang istiqomah bermusyahadah kepada Allah, yang tidak pernah bergantung kepada selain Allah, seperti yang Allah Ajarkan dalam Al Qur’an yang mulia dalam Surah Al Ikhlas.
Dan bahagia menjadi hak orang-orang Mu’min yang senantiasa mengisi relung hatinya dengan NUR Ilahiyah, dia berjalan diatas rambu-rambu Allah, penuh dengan tuntunan yang terang, berjalan dengan arah yang jelas diterangi cahaya iman dan kemulian. Ya Allah jadikanlah kami hambamu yang selalu hati ini penuh dengan Cinta Mu, sehingga tidak ada tempat untuk yang lain selain kepada Mu. Tak ada tempat untuk kebencian, tidak ada tempat untuk prasangka buruk, tak ada tempat selain hanya Cinta Mu Ya Allah.
Mari kita isi hati dengan senatiasa bermusyahadah kepada Allah dan mencintai Rasul nya, dan menjadikan Al Qur’an yang mulia dan Sunnah Rasul sebagai keutamaan rujukan bagi kita. Semoga Allah menerangi hati kita dengan Nur Nya, sehingga kita terhindar dari istilah diatas bagaikan semut hitam, diatas batu hitam, yang berjalan di kegelapan malam alangkah gelapnya. Nauzubillahi min jalika. (Mukmin Hanafi)

 
INFO
Terpaksa Blog Ini Saya Gunakan Anti Klik Kanan.
Untuk Copy Silahkan Menggunakan CTRL + C Untuk Open New Tab CTRL + Klik.
Terimakasih Atas Perhatiannya, dan Mohon Maaf Atas Ketidak Nyamanannya.
close